Rekam Jejak ASF: ASF Dalam Catatan Sejarah Kepulauan Nias
Ketika Budaya, Ekonomi, dan Kesehatan Terguncang oleh Wabah
Tunggu, jangan terkejut! Meskipun tampak damai dan indah, Pulau Nias menyimpan
sebuah kisah kelam yang tak banyak orang tahu. Di balik keindahan alamnya yang memesona,
sebuah wabah mematikan ternyata pernah singgah lalu mengubah segalanya. Bagaimana tidak?
Virus yang tak kenal ampun ini, datang tanpa peringatan, meluluhlantakkan ribuan babi,
menghancurkan ekonomi, dan mengancam kehancuran budaya yang telah berakar sejak berabadabad. Akan tetapi, apakah mereka bersedia membiarkan budayanya hilang begitu saja?
African Swine Fever (Demam Babi Afrika) atau yang kerap disebut sebagai Wabah ASF
adalah sebuah penyakit menular pada babi. Setelah 99 tahun sejak ditemukan di Afrika, ASF
kembali muncul di Pulau Nias pada 2020, uniknya, merebak bersamaan dengan datangnya Covid-
19 di Indonesia. Lucunya lagi, wabah ini punya gejala yang cukup untuk membuat kepala
tergeleng-geleng, hal ini dikarenakan ASF merenggut nyawa babi dalam kondisi yang
mengejutkan. “Me’e ga me ma faigi furi khöma mbawi no adölö, ma walinga ha mörö padahal
sa no mate (Terjemahan Bahasa Indonesia : Kami sedih saat kami melihat babi kami dibelakang
sudah tergelatak, kami kira hanya tidur ternyata sudah mati) ” Ujar Ibu ina Monita, Salah seorang
Peternak yang diwawancarai kemarin Sore Pukul 16.00 WIB di kediaman Rumahnya. Alih-alih
mendapatkan informasi yang jelas tentang penyebab kematian mendadak babi-babinya, dirinya
malah merasa kebingungannya semakin dalam.
"Ketika kami telusuri lebih dalam mengenai penyebabnya, banyak yang bilang kalau itu
disebabkan oleh masuknya babi-babi dari luar daerah," ujar si ibu peternak dengan nada tegas,
sembari menekankan isu yang beredar mengenai sumber wabah ini. "Babi-babi itu datang tanpa
izin dan tanpa pengawasan," lanjutnya. Lantas apa yang terjadi? Sampai babi-babi itu harus
dihadirkan dari luar daerah? Bukannya Jumlah babi di Pulau Nias sudah cukup banyak? Ternyata ada segelintir penjual daging babi yang terperangkap dalam godaan keuntungan instan. Demi
meraup laba yang besar, mereka tak segan-segan membeli babi dengan harga yang jauh lebih
murah dari luar daerah, meskipun itu datang dengan risiko yang sangat tinggi. "Ya, karena harga
babi di luar daerah jauh lebih murah. Mereka diam-diam mengangkutnya dari sana supaya tidak
ada biaya izin dan pengawasan" ungkap ibu tersebut, menggambarkan bagaimana praktik ini
beroperasi dalam bayang-bayang ketidakpatuhan.
Wabah ASF yang diduga disebabkan oleh penjual daging babi yang nakal, Justru memberi
racun bagi mereka sendiri, Karena mengakibatkan harga daging babi yang tidak stabil. Bahkan,
yang paling fenomenal, harga daging babi pernah merosot sampai dengan Rp10.000 Per Kg, jauh
dari harga normal di tahun sebelumnya yang berkisar Rp50.000 hingga Rp 60.000 Per Kg.
Selain bagi para penjual daging babi, para peternak babi juga ikut merasakan dampak yang
sangat mendalam akibat wabah ini. Betapa tidak, mereka yang telah menjadikan ternak babi
sebagai satu-satunya sumber kehidupan kini harus menghadapi kenyataan pahit yang
menghancurkan harapan. ”Sejak kecil kami merawat babi-babi dengan penuh kasih sayang,
makanya kami sangat sedih saat melihat semua babi kami mati, padahal saat itu kami berencana
menjual beberapa untuk biaya kuliah anak kami” Ucap ibu itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Mendengar kata-katanya, saya sontak bersedih meneteskan air mata.
Namun, tidak hanya sampai di Sektor ekonomi saja, Wabah ini juga turut menghantam
keberadaan Budaya di Pulau Nias pada saat itu. Budaya nias yang dikenal akrab dengan yang
namanya babi, terpaksa kehilangan salah satu unsur didalamnya. “Budaya kita di nias ini sangat
identik dengan yang namanya babi, upacara pernikahan, ada babi. Upacara pemakaman ada
babi. Acara pemberian nama anak juga ada babi, Pokoknya untuk segala budaya kita, kita akan
selalu melihat babi didalamnya.” Tegas Bapak Ama Ober Mendrofa, Salah satu Tetua adat di
Desa Sisobahili Tabaloho, saat diwawancarai dirumahnya. (21/02/2025).
Upacara Pernikahan atau yang lebih dikenal dengan istilah Owasa atau Fa’ulu merupakan
salah satu contoh upacara adat yang terkena imbas dari wabah ini, yakni pesta pernikahan yang
diselenggarakan dengan adat nias. Ya, sebuah kearifan lokal yang merujuk pada Adat. Disini,
Calon Pengantin Pria harus membawa 2 ekor babi kepada Pihak mempelai wanita sebagai bagian dari Böwö (mahar), menariknya, sebelum 2 ekor babi ini diserahkan, akan dilaksanakan acara
singkat yaitu doa dan harapan untuk acara pernikahan oleh Keluarga. “Sebelum babi di serahkan
ke pihak wanita, dilakukan acara singkat yaitu acara Fola’u Mbawi Kemudian Mböli Hae Oleh
Kedua belah pihak” Ujar si Bapak.
Jangan sampai kamu tidak tahu sedikitpun tentang Mböli Hae! Mböli Hae adalah Acara
dimana utusan dari kedua belah pihak saling menyampaikan kalimat semangat dalam Bahasa Nias.
“Kalau bahasa Indonesianya, mböli hae bisa diartikan sebagai kalimat sorai-sorai” Sambung
Tetua adat. Acara ini wajib dilakukan dalam Upacara Adat Pernikahan, betapa malunya pihak
Tome Dan Sowatö (Pihak Mempelai Pria dan Wanita) jika Acara ini tidak dilaksanakan, Bahkan
bisa menimbulkan selisih paham antara keluarga kedua belah pihak, itulah mengapa Tradisi ini
sangat dijaga keberadaannya. Tapi disisi lain Potret babi pada saat itu sudah jarang terlihat.
Tunggu, Coba Renungkan sejenak? Apakah ada misteri dibalik mengapa babi harus ada di
setiap kebudayaan Nias? Ya, ada. Misteri ini di ungkap oleh Sang Tetua adat yang saya
wawancarai. “Babi Sudah menjadi bagian dari kebudayaan kita nias sampai saat ini, karena dulu
Kehidupan kita yang suka berburu, dan hewan yang sering di dapatkan adalah babi. Setiap ada
dulu acara kita di nias, babi ini dipersembahkan untuk para pemimpin kita pada saat itu, sebagai
bentuk penghormatan, kemudian si pemimpin membagi-bagikan nya kepada para masyarakat
untuk dimakan bersama dengan tujuan mempererat tali persaudaraan,, sehingga babi ini punya
dua makna utama yaitu kehormatan dan Hubungan yang kuat, itulah mengapa sampai sekarang
babi menjadi bagian dari kebudayaan kita” Ungkapnya dengan jelas.
Bayangkan sendiri! Kira-kira? Saat Populasi babi Berkurang di Pulau Nias pada tahun
2020, Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka tetap ingin Merdeka dengan tetap menjalankan
kebudayaanya? Atau mungkinkah mereka terpaksa meninggalkan kebudayaannya hanya karena
babi sulit ditemukan?
“Pada dasarnya, budaya kita tetap dilaksanakan, meskipun pada saat itu kami bingung
mau melakukan apa disetiap acara, karena babi susah ditemukan. Tetapi ada beberapa solusi
saat itu supaya acara adat tetap dilaksanakan yaitu mengantikan babi dengan uang tunai, atau
hewan lain seperti ayam kampung, hal ini kami lakukan sembari menunggu pulihnya jumlah babi di nias” Ungkapnya dengan tegas, menekankan bahwa budaya pada saat itu tetap dilaksanakan.
Ini artinya Walaupun jumlah babi pada saat itu berkurang, para tokoh adat dan masyarakat memilih
untuk tetap mempertahankan Budayanya.
Lantas? Mengapa mereka masih mempertahankan budayanya? Sementara Pasokan babi
pada saat itu sangat tidak mendukung, “Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap daerah
punya kebudayaan nya masing-masing, Malulah kita jika seandainya budaya kita pudar dan tidak
ada. Disisi lain, budaya adalah sesuatu yang perlu dijaga dan dilestarikan, karena dia tumbuh
sejak lama, dari para leluhur kita” Jawabnya dengan lantang.
Ini adalah pelajaran berharga yang patut kita teladani, bagaimana para tokoh adat dan
masyarakat di Kepulauan Nias berani untuk mempertahankan kebudayaan mereka di tengah
ancaman yang begitu besar. Keberanian mereka patut diacungi jempol, namun lebih dari itu, etika
dan tekad mereka dalam mempertahankan tradisi adalah hal yang menginspirasi. Di balik semua
itu, kita juga belajar bahwa ini bukan sekadar soal budaya, tetapi tentang bagaimana kita
menghadapi tantangan di masa depan. Jangan terlalu fokus pada masalah yang ada, namun
mari arahkan pandangan kita pada solusi yang bisa membawa perubahan dan keberlanjutan.
#Sejarah_ASF_Di_NIAS
#WABAH
#VIRUS
#ASF
#AFRICAN SWINE FEVER
#ADAT_NIAS
Komentar
Posting Komentar